Setelah Belanda menyerah, 5 ribu penduduk Tarakan menderita. Sejumlah besar tentara yang ditempatkan di pulau tersebut kekurangan pangan dan banyak warga sipil menderita kekurangan gizi. Pihak berwenang Jepang membawa 600 buruh dari Jawa ke Tarakan. Serdadu Jepang juga memaksa sekitar 300 wanita Jawa untuk bekerja sebagai “wanita penghibur” di Tarakan setelah berhasil meyakinkan mereka untuk dipekerjaan sebagai juru tulis dan buruh pabrik pakaian.
Sebelum Perang Dunia ke II, Tarakan merupakan bagian dari Hindia Belanda (NEI) dan merupakan pusat produksi minyak yang penting. Dua ladang minyak di pulau itu menghasilkan 80 ribu barel minyak per bulan pada tahun 1941. Mengamankan ladang minyak Tarakan merupakan salah satu tujuan awal Jepang selama Perang Pasifik. Pasukan Jepang Dai Nippon mendarat di pantai timur pulau itu pada 11 Januari 1942 dan mengalahkan garnisun Belanda hanya dalam dua hari pertempuran di mana separuh tentaranya dibunuh. Sementara ladang minyak berhasil disabotase oleh Belanda sebelum mereka menyerah. Namun para insinyur Jepang dapat segera memperbaikinya dan kembali produksi dengan 350 ribu barel diekstraksi setiap bulannya pada awal 1944.
Akibat pendudukan Jepang, pasukan sekutu secara besar-besaran datang menuju Tarakan selama tahun 1944. Kapal tanker minyak Jepang terakhir meninggalkan Tarakan pada Juli 1944, dan serangan udara sekutu yang besar pada akhir tahun menghancurkan fasilitas produksi dan penyimpanan minyak di pulau itu. Ratusan warga sipil Indonesia mungkin juga terbunuh oleh serangan-serangan ini. Garnisun Jepang di Tarakan berkurang pada awal tahun 1945. Salah satu dari dua batalyon infanteri yang ditempatkan di pulau itu (Batalyon Infantri Independen 454) ditarik ke Balikpapan. Batalyon ini kemudian berhasil dihancurkan oleh Divisi 7 Australia pada Juli saat pertempuran Balikpapan. Tujuan utama serangan sekutu di Tarakan (kode bernama “Oboe One”) untuk mengamankan dan mengembangkan landasan pacu bandara di pulau tersebut untuk bisa digunakan sebagai pangkalan udara untuk pendaratan di Brunei, Labuan dan Balikpapan. Tujuan keduanya mengamankan ladang minyak Tarakan sebagai sumber minyak pasukan sekutu.
Tarakan menjadi prioritas Departemen Perintis Pelayanan Australia (The Australian Services Reconnaissance Department’s/SRD) sejak November 1944. Pasukan sekutu yang bertanggung jawab merebut Tarakan yakni Brigade 26 Australia yang sangat berpengalaman, memiliki hampir 12.000 tentara. Unit tempur ini didukung oleh sejumlah besar unit logistik dan medis, termasuk 2nd Beach Group yang berperan mendaratkan pasukan cadangan dari armada invasi. Brigade Grup 26 didukung oleh unit udara dan angkatan laut sekutu. Unit-unit udaranya diambil dari Australian First Tactical Air Force (1 TAF) dan Angkatan Udara Ketiga Belas Amerika Serikat dan termasuk skuadron tempur dan pembom. Pasukan angkatan laut ditarik dari Armada Ketujuh Amerika Serikat dan termasuk beberapa kapal perang dan kapal induk Angkatan Laut Australia. Karena tujuan utama menyerang Tarakan adalah untuk menggunakan landasan pacu bandara pulau ini, pasukan invasi juga memasukkan sejumlah besar unit darat dari Royal Australian Air Force. Pasukan yang mendarat di Tarakan mencakup hampir seribu tentara Amerika Serikat dan Belanda. Pada saat pendaratan sekutu, pasukan Jepang di Tarakan berjumlah 2.200 orang yang diperkuat dari pasukan Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Unit terbesar adalah Batalyon Infanteri Independen yang beranggotakan 740 orang yang dipimpin oleh Mayor Tadai Tokoi.
150 pasukan pendukung Angkatan Darat Jepang juga berada di Tarakan. Sumbangan Angkatan Laut ke garnisun Tarakan terdiri dari 980 pelaut yang diperintahkan oleh Komandan Kaoru Kaharu. Unit angkatan laut utama adalah Angkatan Garnisun Angkatan Laut yang memiliki kekuatan 600 angkatan. Unit angkatan laut ini dilatih untuk berperang sebagai infanteri dan mengoperasikan beberapa senjata pertahanan pantai. 350 pekerja minyak sipil Jepang di Tarakan juga diperkirakan akan berperang jika terjadi serangan Sekutu. Pasukan Jepang mencakup sekitar 50 orang Indonesia yang bertugas di unit penjaga. Pasukan Jepang terkonsentrasi di sekitar Lingkas, pelabuhan utama Tarakan dan lokasi satu-satunya pantai yang cocok untuk pasukan sekutu melakukan pendaratan. Pasukan Jepang ini telah menghabiskan beberapa bulan sebelum invasi untuk membangun posisi pertahanan. Pertahanan ini digunakan secara ekstensif selama pertempuran dan terbukti bertahan lama. Kepada sekutu, pasukan Jepang tidak melakukan serangan balasan yang berarti.
Pertahanan dibangun setelah pasukan Jepang di Tarakan diperingatkan akan adanya invasi yang akan terjadi pada April. Komandan pulau tersebut menerima sinyal radio yang memperingatkan adanya serangan yang akan segera terjadi, dan komandan yang bertugas di depot minyak Tarakan diperintahkan untuk menghancurkan sumur minyak pada 15 April. Karena Jepang telah mempersiapkan pertahanan untuk melawan invasi selama beberapa bulan, Jepang menyadari kekuatan besar sekutu tengah bersatu di Morotai untuk menyerang Borneo. Sebelum kedatangan pasukan invasi, garnisun Jepang di Tarakan dan Borneo menerima serangan dari udara dan laut secara intensif dari 12 April hingga 29 April. Sekutu juga bersiap melakukan serangan udara terhadap basis militer Jepang di China, Indochina Perancis dan Hindia Belanda untuk menekan unit angkatann udara Jepang di seluruh region.
Serangan sekutu ini menghancurkan semua pesawat Jepang di wilayah Tarakan. Pengeboman udara di Tarakan meningkat dalam intensitas lima hari sebelum pendaratan. Serangan ini difokuskan pada area yang berbatasan dengan pantai yang direncanakan di Lingkas dan berusaha untuk menetralisir pertahanan Jepang di area tersebut. Tangki penyimpanan minyak di Lingkas menjadi target utama karena dikhawatirkan tangki-tangki minyak akan dihancurkan untuk melawan pasukan Sekutu. Pengeboman ini memaksa sebagian besar penduduk sipil Tarakan melarikan diri ke pedalaman. Sedikitnya 100 warga sipil terbunuh atau terluka. Pasukan Sekutu yang akan melakukan serbuan ke Tarakan berkumpul di Morotai pada Maret dan April 1945. Kelompok Brigade 26 dimobilisasi dari Australia ke Morotai dengan kapal-kapal Angkatan Darat Amerika Serikat dan tiba pada pertengahan April dan bersiap melakukan pendaratan dengan amfibi. Pendaratan di Pulau Sadau menjadi kali pertama untuk pasukan Australia di wilayah non-Australia khususnya di Pasifik sejak akhir 1941 (Partisipasi Australia dalam Kampanye New Guinea dari tahun 1942 dan seterusnya terbatas pada wilayah Australia di New Guinea). Korban sekutu lebih kecil dari yang diperkirakan, dengan 11 orang terbunuh dan 35 lainnya cedera. Setelah mengamankan tempat pendaratan, Kelompok Brigade 26 maju ke timur menuju Kota Tarakan dan utara menuju bandara, bersamaan tentara Australia menghadapi perlawanan Jepang yang semakin besar saat mereka bergerak semakin maju. Selama minggu pertama invasi tersebut, 7 ribu pengungsi Indonesia beralih mengikuti jalur Australia yang sedang maju mendesak pasukan Jepang. Jumlah ini lebih banyak daripada yang diperkirakan, dan para pengungsi, dilaporkan mengalami gangguan kesehatan.
Pasukan sekutu tengah berpatroli di pantai Tarakan
Meskipun terjadi kerusakan akibat pemboman sekutu dan invasi, sebagian besar warga sipil menyambut orang Australia sebagai pasukan pembebas. Ratusan warga sipil Indonesia kemudian bekerja sebagai buruh dan kuli untuk pasukan sekutu. Usai memukul mundur pasukan Jepang, Jenderal Thomas Blamey, komandan Pasukan Militer Australia, melaukan inspeksi di Tarakan pada 8 Mei. Untuk mengamankan pulau itu dan melindungi bandara dari serangan. Grup Brigade 26 melakukan pembersihan dari tentara Jepang yang diprediksi masih berada di perbukitan dan hutan di Tarakan. Sekitar 1.700 tentara Jepang dicari di utara dan tengah pulau. Keberadaan pasukan Jepang ini dikelilingi oleh jebakan seperti ranjau.
Dalam pertempuran ini, perusahaan Hindia Belanda diberikan tanggung jawab mengamankan bagian selatan-timur Tarakan. Pasukan Perintis mulai melaju ke timur Kota Tarakan pada 7 Mei, namun mengalami perlawanan sengit dari pasukan Jepang. Sejak 10 Mei, batalyon tersebut dapat dihentikan di ‘Helen’, yang dipertahankan oleh sekitar 200 tentara Jepang. Dalam peristiwa itu, pada 12 Mei, Kopral John Mackey terbunuh setelah berhasil menemukan tiga pos serdadu Jepang yang dilengkapi senapan mesin. Mackey akhirnya secara anumerta dianugerahi Salib Victoria atas tindakannya. Pasukan Jepang menarik diri dari ‘Helen’ pada 14 Mei setelah sekitar 100 tentara tewas, dan Batalyon Perintis berhasil mencapai Pantai Timur Tarakan pada 16 Mei. Batalyon tersebut kehilangan 20 tentaranya dan 46 tentara lainnya cedera. Angkatan Laut Amerika Serikat dan Australia terus memberikan bantuan invasi tersebut setelah pendaratan berhasil. Sementara kekuatan Jepang di Tanjung Djoeata di pesisir utara Tarakan juga tersingkir oleh USS Douglas A. Munro pada 23 Mei. Garnisun Jepang berangsur-angsur hancur, dan orang-orang yang selamat meninggalkan tempat mereka di perbukitan dan menarik diri ke utara pulau pada 14 Juni. 112 pekerja Tionghoa dan Indonesia meninggalkan daerah yang dikuasai Jepang dengan jaminan dari perwira senior Jepang yang meminta agar mereka diperlakukan dengan baik. Radio Tokyo mengumumkan bahwa Tarakan telah jatuh pada tanggal 15 Juni, namun perlawanan terorganisir Jepang yang terakhir dilakukan pada 19 Juni.
Karena landasan pacu bandara telah rusak berat akibat pemboman sebelum invasi dan berada di daerah berawa, mengakibatkan lebih sulit untuk diperbaiki daripada yang diperkirakan sekutu sebelumnya, perlu delapan minggu untuk memperbaikinya. Hal itu menjadikan fakta bahwa bandara di Tarakan tidak dapat diandalkan sebagaimana rencana sekutu. Penilaian intelijen yang salah terhadap landasan pacu dapat diperbaiki hanya dalam waktu singkat merupakan kegagalan besar. Ditambah, kinerja intelijen sekutu di Tarakan kerap dianggap buruk. Landasan pacu akhirnya dibuka pada 28 Juni, meski ini terlambat untuk ikut memainkan peran dalam mendukung pendaratan di Brunei atau Labuan (10 Juni), atau pendaratan di Balikpapan. Upaya untuk memulai kembali produksi di ladang minyak Tarakan ditunda akibat kerusakan serius pada fasilitasnya, dan mereka tidak beroperasi sampai perang usai. Setelah berakhirnya perlawanan, pasukan Jepang yang masih hidup di Tarakan memecah menjadi unit-unit kecil dan menuju ke utara dan timur pulau itu. Banyak pasukan Jepang berusaha menyeberangi selat yang memisahkan Tarakan dari daratan namun dihadang oleh patroli angkatan laut Sekutu. Sekutu juga mencari serdadu Jepang di Pulau Bunyu, yang berada lima belas mil timur laut Tarakan.
Sejak minggu pertama bulan Juli, pasukan Jepang yang tersisa mengalami kelaparan dan berusaha kembali ke lokasi awal mereka di pusat pulau dan terkadang menyerang pasukan Australia hanya untuk mencari makanan. Sering diserang kelaparan, semakin banyak serdadu Jepang menyerah. Sehingga unit-unit tentara Australia terus berpatroli untuk mencari pasukan Jepang sampai perang berakhir, dengan beberapa orang Jepang terbunuh atau menyerah setiap hari. Akibat operasi tersebut menewaskan pasukan Sekutu sebanyak 36 orang sekitar 21 Juni sampai 15 Agustus. Namun sekitar 300 tentara Jepang menyerah pada akhir perang pada di pertengahan Agustus. Kelompok Brigade 26 (Australia) tetap berada di Tarakan sebagai pasukan pendudukan sampai 27 Desember 1945, meskipun sebagian besar unitnya dibubarkan pada bulan Oktober. Markas Brigade kembali ke Australia pada awal 1946 dan secara resmi dibubarkan di Brisbane pada Januari 1946. Setelah sukses menguasai Tarakan, ladang minyak Tarakan diperbaiki dan kembali produksi. Para teknisi datang tak lama setelah pendaratan sekutu dan pompa minyak pertama dipulihkan pada 27 Juni. Beberapa bulan kemudian, pada Oktober, ladang minyak di pulau itu menghasilkan 8.000 barel per hari dan banyak warga sipil Tarakan bekerja di sana. Soal jumlah jatuhnya korban, Brigade Grup 26 Australia dinilai mengalami kerugian dua kali lipat jumlahnya jika dibandingkan yang diderita Brigade Divisi 9 lainnya selama operasi mereka di Kalimantan Utara, dan 23 korban lebih banyak daripada Divisi ke 7 yang berada di Balikpapan. Kerugian Brigade 26 tersebut disebabkan garnisun Tarakan tidak dapat ditarik kembali oleh garnisun di Kalimantan Utara dan Balikpapan. Operasi Australia di Tarakan tetap menjadi kontroversi, perdebatan berlanjut mengenai operasi itu sebagai “tontonan” tidak berarti, atau apakah serangan itu dibenarkan dalam konteks operasi yang direncanakan untuk menyerang Jepang dan membebaskan seluruh Hindia Belanda, yang kedua misi tersebut seharusnya baru akan dimulai pada 1946. Sejarawan Australia Gavin menilai “hasil yang dicapai tidak sebanding dengan biaya operasi militer di Tarakan” sebagaimana prinsip umum tentang pertempuran. (berbagai sumber)