Tebarberita.id, Samarinda – Polemik pasal-pasal krusial RUU KUHP menjadi pembahasan dalam dialog publik bagi Lembaga Pendidikan, Pondok Pesantren, Ormas Keagamaan dan Masyarakat, yang diselenggarakan oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kaltim di Kota Samarinda, Selasa (13/9/2022).
Dialog publik dibuka langsung oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI, Nizar Ali. Sedangkan narasumber dialog hadir Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Bidang Politik dan Keamanan Y. Ambeg Paramarta, Guru Besar Hukum Pidana UGM Marcus Priyo Gunarto, dan Guru Besar Hukum Pidana UI Topo Santoso. Hadir dalam acara tersebut para ulama, tokoh masyarakat, penegak hukum dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, organisasi kepemudaan, media, hingga perwakilan kalangan mahasiswa.
LBH Ansor Kaltim yang mendapatkan kesempatan untuk ikut hadir dalam dialog publik RUU KUHP menyambut baik langkah pemerintah untuk membuka pembahasan dihadapan masyarakat.
“Kita tentunya menyambut baik langkah pembahasan dengan dialog publik mengenai RUU KUHP dihadapan publik,” ujar Guntur Pribadi, pegiat hukum pada LBH Ansor Kaltim, dihadapan awak media.
Selain itu, LBH Ansor Kaltim juga berharap, agar pasal-pasal krusial yang saat ini masih menjadi polemik tidak mengabaikan realitas apa yang diharapkan publik sesungguhnya.
“Karena hukum itu sesungguhnya kebutuhan manusia. Jangan sebaliknya manusia untuk hukum. Kalau ini yang terjadi, maka manusia atau masyarakat akan menjadi obyek hukum. Kita tidak ingin hal itu,” tegas Guntur, yang juga merupakan praktisi hukum.
RUU KUHP tetap harus dikawal dan sekaligus dikritisi. Ditambahkan Guntur, pasal-pasal yang secara substantif dapat berpotensi merenggut kebebasan menyampaikan pendapat hendaknya tidak dimasukan sebagai pasal pidana.
“Kita berharap hukum yang hadir dalam kitab undang-undang pidana kedepannya adalah hukum yang humanis. Yang secara filosofis dan sosiologis dapat memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi manusia. Bukan sebaliknya,” ujar Guntur.
Dalam dialog publik, LBH Ansor Kaltim mengkritisi beberapa pasal terkait penghinaan kepala negara, tindak pidana ideologi negara, hingga pemerkosaan dalam hubungan perkawinan. (*)