Tebarberita.id, Jakarta – Usai dihapusnya dwifungsi ABRI pada reformasi 1998, UU TNI mengamanatkan struktur kekuatan TNI tidak boleh mengikuti struktur administrasi daerah agar tidak mencampuri urusan pemerintahan sipil. Dia justru khawatir penambahan struktur komando teritorial TNI AD tersebut untuk kepentingan politik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang hendak maju sebagai bakal calon prsiden di tahun politik 2024.
Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menampik segala sangkaan itu. Dia berkata, kebijakan ini murni untuk menghadapi gangguan pertahanan geopolitik dan geostrategis. Adapun Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Hamim Tohari mengatakan selain untuk menangkal perang, penambahan kodam untuk membantu operasi selain perang seperti bencana dan konflik sosial.
Kadispenad Brigjen Hamim Tohari menjelaskan kajian soal penambahan komando daerah militer (kodam) di 38 provinsi di Indonesia sudah melalui kajian yang matang pada akhir tahun lalu. Dalam diskusi antar-pimpinan TNI tersebut ada beberapa alasan mengapa perlu penambahan struktur kekuatan tentara.
Pertama, sesuai amanat UU TNI yakni untuk operasi perang atau menghadapi ancaman keamanan di dalam negeri maupun luar negeri. Kedua, untuk operasi militer selain perang yang utamanya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengendalian operasi Angkatan Darat dalam mendukung pemerintah daerah dan instansi lain terkait persoalan di masyarakat.
“Contoh bencana alam, krisis pangan, terus ada konflik sosial,” ujar Brigjen Hamim Tohari kepada BBC News Indonesia, Senin (22/05).
Dia berkata, surat permintaan penambahan kodam sudah diajukan dua bulan lalu ke Mabes TNI dan masih dalam pembahasan. Kalau usulan ini disetujui Kementerian Pertahanan, maka nantinya TNI akan menaikkan komando resor militer (korem) tipe A yang sudah di tiap-tiap provinsi ibu kota menjadi kodam.
Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan Kemenhan “bersetuju” dengan rencana tersebut. Menurut dia, penambahan kodam adalah bagian dari doktrin “pertahanan rakyat semesta” yang salah satu amanatnya memperkuat komando teritorial. Yang fungsinya “menangkal gangguan pertahanan keamanan di dalam dan luar negeri”.
“Bagi Kemenhan dan TNI peningkatan dan perluasan kodam sangat penting. Contohnya perang Rusia dan Ukraina. Itu bukti nyata,” imbuhnya kepada BBC News Indonesia.
‘Belum ada urgensinya’
Akan tetapi, Anggota Komisi 1 DPR, Mayjen TNI Purn TB Hasanuddin, menilai usulan penambahan kodam belum ada urgensinya. Ia menjelaskan, seluruh pembentukan kekuatan TNI sudah ada dalam Rencana Strategis. Dalam Renstra 2009-2014, sambungnya, tidak ada program soal penambahan kodam. Yang ada adalah menambah kekuatan alutsista dari kodam-kodam yang ada di 15 provinsi. Bahkan di Renstra 2014-2024 kekuatan TNI diharapkan mencapai minimum essential force (MEF) atau kekuatan pokok minimum tetap dengan menambah maupun modernisasi alutsista yang dibutuhkan oleh tiga matra TNI.
Itu mengapa, kata dia, alasan penambahan kodam demi “menghadapi ancaman keamanan” tidak masuk akal. Pasalnya, “ancaman keamanan” yang diprediksi sampai tahun 2024 tidak berubah dan telah sesuai dengan rencana strategis serta postur kekuatan TNI yang ada saat ini.
“Kalau ada yang mengatakan berdasarkan ancaman, itu menurut saya tidak relevan. Karena narasi ancaman itu tidak boleh hanya dibuat oleh satu lembaga saja,” jelas Mayjen TNI Purn TB Hasanuddin.
“Dan narasi ancaman harus berdasarkan keputusan negara.”
“Kalau ada penambahan kodam, konsekuensinya harus ada perlengkapan struktur organisasi dan personel. Itu menyangkut anggaran dan anggaran harus mendapat persetujuan DPR,” sambungnya.
“Sampai sekarang belum ada program itu [penambahan kodam].”
Penambahan kodam menyalahi UU TNI
Sejumlah pihak juga mengkritik rencana TNI dan Kemenhan ini. Mantan presiden, Megawati Sukarnoputri, menyebut tidak ada situasi genting seperti perang yang mengharuskan ada penambahan kodam.
“Ini nggak ada perang, apa kita mau perang? Kan nggak. Sudah jangan mau-maunya sendiri, memperkaya sendiri, sudah berhenti,” ujar Megawati saat berpidato di gedung Lemhanas, Jakarta Pusat.
Sementara itu, pengamat militer Al Araf menerangkan secara historis keberadaan kodam di masa lalu sesungguhnya kental dengan nuansa politik. Di masa Orde Baru, kodam dipermanenkan dan diperluas Soeharto demi mengamankan kemenangannya pada penyelenggaraan pemilu.
“[Kodam] jadi instrumen politik paling dekat dengan masyarakat sehingga untuk memastikan mobilisasi kemenangan Soeharto,” jelas AL Araf.
Kodam juga disebut Al Araf menjadi alat untuk melawan kekuatan petani dan buruh yang memprotes kebijakan pemerintah sehingga kerap terjadi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Karena itulah ketika Reformasi 1998 menuntut agar dwifungsi ABRI dihapus akhirnya dikabulkan lewat UU TNI. Di undang-undang nomor 24 tahun 2004, fungsi TNI dikembalikan ke bidang pertahanan.
Sejalan dengan amanat itu, penjelasan pasal 11 ayat 2 UU TNI menekankan bahwa struktur kekuatan TNI tidak boleh mengikuti struktur administrasi daerah agar tidak mencampuri urusan pemerintahan sipil.
“Struktur itu dengan sendirinya diubah ketika Reformasi. [Keberadaan kodam-korem-koramil] hanya untuk wilayah tertentu semisal di perbatasan.”
Bagi Al Araf dengan menambah kodam sama saja “kemunduran dalam reformasi politik Indonesia dan TNI”. Penambahan kodam juga menurut dia, tidak sesuai dengan realitas perkembangan perang modern yang bertumpu pada kekuatan teknologi dan tentara yang profesional.
Kodam untuk politik pemilu 2024?
Tapi lebih dari itu, Al Araf mencurigai rencana penambahan kodam berkaitan dengan pemilu 2024 karena usulan tersebut muncul jelang tahun politik. Menurutnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang berhasrat maju sebagai capres, hendak “membangun kekuatan sampai ke tingkat bawah”.
“Prabowo menilai kodam ruang dan peluang untuk politik pemilu 2024,” imbuh Al Araf.
Menjawab tuduhan itu, Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, menampiknya.
“Sekarang pengawasan bisa dilakukan maksimal. Silakan ‘digong-gong’. Silakan dikritisi sekeras-kerasnya apalagi ini eranya terbuka. Proses diawasi oleh banyak pihak.”
Dahnil juga mengeklaim penambahan kodam tidak menyalahi UU TNI.
“Kita hormati sikap skeptis. Namun saat ini tidak perlu lagi military phobia. Karena itu berbahaya dan akan memperlemah pertahanan kita,” ujar Dahnil.
Adapun Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Hamim Tohari menyebut pasal 11 ayat 2 UU TNI bukan berarti melarang struktur TNI mengikuti struktur administrasi daerah.
“Bagi kami kritikan silakan saja. Tapi yang jelas apa yang kami rencanakan, dirancang dengan panjang dan matang,” katanya. (*)
Sumber: BBC News Indonesia