Tebarberita.id, Samarinda – Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu provinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia. Namun, kontribusi bagi negara dan daerah dari sektor ini masih dirasa kurang. Oleh karena itu, DPRD Kaltim meminta agar ada tambahan Dana Bagi Hasil (DBH) dan participating interest (PI) untuk sektor batubara.
Untuk diketahui, DBH adalah dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan negara dari sektor sumber daya alam, seperti minyak, gas, mineral, dan batubara. Sedangkan, PI adalah persentase kepemilikan saham negara dalam perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang sumber daya alam.
Wakil Ketua DPRD Kaltim Sigit Wibowo mengatakan, permintaan tambahan DBH dan PI ini didasarkan pada fakta bahwa ada enam perusahaan pemegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) yang telah memasuki tahap akhir izin. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Kendilo Coal Indonesia (KCI), PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung (KJA), dan PT Berau Coal.
“Kami meminta agar kontribusi bagi negara, terutama bagi daerah dapat lebih besar dari sebelumnya. Kami juga meminta agar adanya tambahan DBH dan PI bisa masuk dalam RUU Mineral dan Batubara (Minerba),” ujar Sigit dalam sebuah wawancara di Gedung B DPRD Provinsi Kaltim beberapa waktu lalu.
Sigit menjelaskan, PKP2B adalah bentuk kerjasama antara pemerintah dan perusahaan swasta dalam pengusahaan batubara. PKP2B memiliki masa berlaku 30 tahun, yang bisa diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun. Namun, setelah masa perpanjangan berakhir, perusahaan harus menyerahkan seluruh asetnya kepada negara.
“Kami khawatir, jika tidak ada tambahan DBH dan PI, maka negara dan daerah akan kehilangan banyak pendapatan dari sektor batubara. Padahal, Kaltim memiliki kontribusi besar bagi negara dari sektor ini. Kami juga ingin agar ada kepastian hukum dan keadilan bagi daerah,” katanya.
Sigit menambahkan, evaluasi terhadap izin PKP2B masih terus dilakukan oleh pemerintah pusat. Namun, ia mengkhawatirkan adanya kemungkinan perpanjangan izin tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan.
“Harus ada evaluasi, terutama dalam hal lingkungan. Kami tidak ingin ada perusahaan yang meninggalkan jejak kerusakan lingkungan. Kami juga tidak ingin ada dampak negatif bagi masyarakat di Benua Etam,” tuturnya.
Untuk itu, Sigit mengusulkan adanya tim khusus yang bertugas mengawal proses penutupan tambang. Tim tersebut akan mengkaji kondisi tambang saat ini, nasib karyawan, dan masyarakat sekitar.
“Kalau memang tambang ditutup, maka harus ada tim khusus yang mengawal proses itu. Mereka bertugas mengkaji kondisi tambang saat ini, nasib karyawan, dan masyarakat sekitar. Mereka juga harus memastikan bahwa ada rehabilitasi lahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” tukasnya. (MF/Adv)