Tebarberita.id, Jakarta – Norma tentang penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap pemerintah yang termuat dalam ketentuan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan diajukan oleh Fernando Manullang (Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia/Pemohon I), Dina Listiorini (Dosen FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta/Pemohon II), Eriko Fahri Ginting (Content Creator/Pemohon III), dan Sultan Fadillah Effendi (Mahasiswa/Pemohon IV). Sidang perdana perkara Nomor 7/PUU-XXI/2023 ini digelar pada Selasa (24/1/2023) di Ruang Sidang Panel MK.
Pasal 218 ayat (1) KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Pasal 219 KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Pasal 240 ayat (1) KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Pasal 241 ayat (1) KUHP menyatakan, “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.”
Para Pemohon melalui kuasa hukum Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menyebutkan, sebagai pihak yang menjalankan keberlangsungan negara, Pemerintah tidak jarang menerima berbagai macam kritik maupun saran dari warga negara. Namun terkadang dalam penyampaian kritik tersebut tidak sesuai dengan etika yang pada akhirnya berujung pada penghinaan maupun pencemaran nama baik. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Pemerintah juga dilindungi dari tindakan penghinaan maupun pencemaran nama baik. Namun bukan berarti Pemerintah dapat dibuatkan suatu pasal khusus terkait dengan larangan tindakan penghinaan bagi Pemerintah tersebut.
“Maka patut menjadi pertanyaan mengapa bagi setiap orang yang melakukan tindakan penghinaan terhadap Pemerintah dibuatkan suatu pasal khusus? Padahal dalam KUHP sudah terdapat pengaturan mengenai tindakan penghinaan maupun pencemaran nama baik yang berlaku dan dapat diterapkan bagi semua orang tak terkecuali Pemerintah. Adanya pengaturan khusus terkait dengan penghinaan terhadap Pemerintah tersebut sejatinya telah melanggar konstitusi serta prinsip Equality Before The Law sebagaimana termanifestasikan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945,” sebut Zico dalam sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan anggota Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Berikut Zico juga mengatakan dengan adanya pengaturan khusus terkait dengan penghinaan terhadap Pemerintah, maka secara tidak langsung hal demikian telah mencederai Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Oleh karena itu, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kewenangan MK
Dalam nasihat Majelis Hakim Sidang Panel ini, Hakim Konstitusi Arief menyebutkan perbedaan antara UU Sistem Peradilan Anak dengan KUHP yang saat ini diujikan di MK. Arief mengatakan, UU Sistem Peradilan Anak keberlakukannya ditunda. Sedangkan KUHP yang diajukan para Pemohon ini masih memberlakukan UU yang lama. Adapaun revisi atau versi terbaru dari KUHP yang diujikan pada perkara ini masih dalam tahap sosialisasi dan keberlakukannya pun ditunda selama 3 tahun mendatang.
“KUHP yang berlaku secara konkret adalah yang lama dan yang baru akan diberlakukan 3 tahun mendatang. Bangunkan argumentasinya bahwa MK berwenang mengadili perkara ini, sejak hari ini atau baru 3 tahun lagi baru berwenangnya,” jelas Arief di hadapan kuasa hukum dan salah seorang Pemohon yang hadir mengikuti persidangan secara langsung di Gedung MK Jakarta.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar para Pemohon masing-masing menyertakan kerugian konstitusional yang dialami. Sedangkan Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati permohonan Pemohon bagian kedudukan hukum yang dilandaskan pada kegiatan yang dilakukannya dalam memberikan kritik kepada Pemerintah. “Beri argumentasi dan penegasan terhadap penghinaan terhadap Presiden/Pemerintah yang komprehensif sehingga berbeda dengan permohonan yang pernah diajukan ke MK,” sebut Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo meminta para Pemohon menyempurnakan permohonannya hingga Senin, 6 Februari 2023 pukul 11.00 WIB. Selanjutnya naskah perbaikan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK untuk kemudian diagendakan sidang selanjutnya. (*)
Sumber: mkri.id