TebarBerita.ID
      Artikel ini telah dilihat : 618 kali.
HUKUM

Uji Materi UU Tipikor, Pemohon Tegaskan Adanya Kerugian Negara Belum Tentu Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penahanan terhadap dua orang tersangka dugaan tindak pidana korupsi terkait perjanjian jual-beli gas antara PT PGN dan PT IAE, Jumat (11/4/2025).

Tebarberita.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, Rabu (16/7/2025), di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Dalam perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 dan 161/PUU-XXII/2024 ini, Mahkamah Agung (MA), Kepolisian RI, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir sebagai Pihak Terkait, bersama para ahli dan saksi yang dihadirkan oleh Pemohon.

Kepala Biro Hukum KPK Iskandar Marwanto dalam keterangannya menyampaikan bahwa jumlah perkara korupsi yang menggunakan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor terus meningkat setiap tahun. Ia menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara dapat dibagi secara doktriner menjadi tujuh modus, antara lain: kerugian keuangan negara, suap, pemerasan, penggelapan jabatan, perbuatan curang, benturan kepentingan pengadaan, dan gratifikasi.

“Sehingga menunjukkan bahwa korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara tersebut secara riil terjadi setiap tahun,” ujarnya dikutip dari mkri.id.

Iskandar menilai usulan pemohon untuk menambahkan prasyarat dalam unsur pasal yang diuji akan menimbulkan tumpang tindih dengan delik lain dalam UU Tipikor. Menurutnya, modus-modus tersebut seharusnya dipahami sebagai bentuk konkret dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang cukup dibuktikan dalam kerangka pasal yang berlaku saat ini.

Ia juga menegaskan bahwa urgensi pasal-pasal tersebut tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga didukung data empiris. Berdasarkan laporan riset Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2014–2023, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi secara nasional mencapai lebih dari Rp 291,5 triliun. Sementara itu, KPK mencatat menangani 310 perkara tipikor dengan kerugian keuangan atau perekonomian negara sejak 2014 hingga Mei 2025, dengan nilai kerugian mencapai lebih dari Rp 25,1 triliun dalam kurun 2018–2025.

Namun, pandangan berbeda disampaikan Alexander Marwata, mantan Hakim Ad Hoc Tipikor dan Wakil Ketua KPK 2016–2024, yang dihadirkan sebagai saksi Pemohon dalam perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024. Ia mengkritisi ketidakjelasan norma dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang membuka ruang pemidanaan tanpa pembuktian niat jahat (mens rea).

“Hal terpenting yang menjadi catatan adalah maraknya pemidanaan terhadap seseorang yang perbuatannya kemudian dirangkai sedemikian rupa agar tampak seolah-olah melanggar hukum, semata-mata untuk memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) maupun Pasal 3 UU Tipikor,” ujarnya.

Alexander mencontohkan perkara Nomor 35/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST dengan terdakwa Hotasi Nababan, Direktur PT Merpati Nusantara Airlines, yang diputus bebas di tingkat pertama karena tak terbukti adanya mens rea maupun keuntungan pribadi. Namun, pada tingkat kasasi, terdakwa justru divonis bersalah semata karena kerugian negara yang timbul dari keputusan bisnis yang diambilnya.

Menurutnya, perbedaan tajam antara putusan bebas dan pemidanaan mencerminkan kerancuan dalam penerapan pasal, yang berisiko membawa persoalan administratif atau perdata ke ranah pidana. Ia menyebut, ketiadaan unsur kesengajaan dalam Pasal 2 ayat (1) menyebabkan aparat hukum tidak perlu membuktikan niat jahat pelaku dalam suatu perkara, cukup dengan adanya akibat berupa kerugian negara.

“Dalam sekian banyak kasus, seseorang bisa dipidana tanpa kehendak sadar untuk menimbulkan kerugian negara, hanya karena perbuatan atau kebijakan yang diambilnya berdampak pada kerugian,” tegasnya.

Sidang ini menjadi ajang perdebatan mendalam mengenai batas antara kesalahan administratif, pelanggaran pidana umum, dan tindak pidana korupsi, sekaligus menyoroti urgensi penyempurnaan norma agar penerapan pasal-pasal dalam UU Tipikor lebih proporsional dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.

Sidang ini juga diselenggarakan bersamaan untuk Perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan Mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (2016-2017) Syahril Japarin (Pemohon I), Mantan Pegawai PT Chevron Pacific Indonesia Kukuh Kertasafari (Pemohon II), serta Mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (Pemohon III). Para Pemohon memohon Mahkamah agar ada syarat bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan sanksi pidana/denda dalam ketentuan norma yang diuji tersebut. (*)

Related posts

Tak Terima Dipecat, Dosen Politani Samarinda Gugat

admin

Rapor Merah Polri dalam Penuntasan Kasus HAM

admin

Bawaslu: Celah Hukum UU Pemilu Perlu Dijawab

admin