TebarBerita.ID
      Artikel ini telah dilihat : 632 kali.
HUKUM

PWI dan AJI Nilai Pasal Perlindungan Wartawan dalam UU Pers Masih Relevan, Permasalahannya Ada pada Implementasi

Tebarberita.id, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menegaskan bahwa Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) masih memiliki kekuatan hukum yang konstitusional dan relevan. Namun, pelaksanaannya perlu diperkuat agar benar-benar memberikan perlindungan menyeluruh kepada jurnalis.

Kedua organisasi itu menyampaikan pandangan sebagai Pihak Terkait dalam sidang uji materiil UU Pers terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (21/10/2025).

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Bayu Wardhana menilai permasalahan yang dihadapi jurnalis bukan terletak pada norma hukum, melainkan pada lemahnya pelaksanaan dan komitmen negara dalam menegakkan amanat UU Pers.

“Pelaksanaan Pasal 8 belum ditegakkan dengan baik oleh pemerintah. Negara seharusnya hadir memberikan jaminan perlindungan hukum, termasuk bantuan hukum bagi jurnalis korban kekerasan,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi seperti dikutip mkri.id.

AJI menilai permohonan uji materiil yang diajukan Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM) justru berpotensi mempersempit makna perlindungan hukum terhadap wartawan.

“Penjelasan Pasal 8 sudah tegas menyebut bahwa pemerintah dan masyarakat wajib melindungi jurnalis ketika menjalankan kerja jurnalistik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” jelas Bayu.

Ia menegaskan, “Masih berulangnya serangan, kriminalisasi, dan gugatan perdata terhadap jurnalis bukan semata karena lemahnya norma hukum, tetapi karena kurangnya pelaksanaan dan komitmen aparat penegak hukum.”

Bayu juga menyoroti data kekerasan terhadap jurnalis yang masih tinggi. Pada 2024, AJI mencatat 73 kasus kekerasan di berbagai daerah, termasuk yang dialami Pemohon II dalam perkara ini, saat peliputan di depan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, 30 Agustus 2025. Menurut AJI, perlindungan hukum seharusnya berlaku sejak proses peliputan hingga pasca publikasi berita.

Ia menambahkan, tindakan aparat yang memaksa jurnalis menghapus video merupakan pelanggaran terhadap KUHAP.

“Khususnya pemerintah harus lebih aktif memberikan perlindungan pada jurnalis, antara lain dengan memberikan bantuan hukum kepada jurnalis yang mengalami kriminalisasi, serta menghukum pidana aparat yang melakukan kekerasan agar ada efek jera,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Umum PWI Akhmad Munir menyatakan bahwa Pasal 8 UU Pers tetap konstitusional dan tidak perlu diubah, namun pelaksanaannya harus dimaknai secara aktif dan komprehensif.

“Perlindungan hukum dalam Pasal 8 harus dimaknai secara aktif dan komprehensif, mencakup perlindungan hukum, fisik, digital, dan psikologis bagi wartawan,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa perlindungan hukum tidak boleh diartikan sebagai kekebalan hukum, melainkan jaminan agar jurnalis tidak dikriminalisasi karena karya jurnalistik yang sah.

Munir menambahkan, koordinasi antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi wartawan sangat penting agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan kasus yang melibatkan jurnalis.

“PWI meyakini Pasal 8 merupakan bagian integral dari semangat konstitusi untuk menjamin kemerdekaan pers sebagaimana termaktub dalam Pasal 28F UUD 1945. Kami berharap MK dapat memberikan tafsir konstitusional yang memperkuat norma ini tanpa mengurangi substansi yang telah berjalan lebih dari dua dekade,” katanya.

Adapun permohonan uji materiil terhadap Pasal 8 UU Pers diajukan oleh IWAKUM yang diwakili oleh Ketua Umum Irfan Kamil dan Sekretaris Jenderal Ponco Sulaksono. IWAKUM menilai pasal tersebut multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam perlindungan wartawan. Pasal 8 menyebutkan wartawan memperoleh perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya.

Namun, dalam penjelasan disebutkan perlindungan berasal dari pemerintah dan/atau masyarakat. Pemohon menilai rumusan tersebut tidak memberikan kejelasan mekanisme hukum bagi wartawan.

Dalam permohonannya, IWAKUM menilai perlindungan hukum terhadap wartawan tidak sekuat profesi lain seperti advokat atau jaksa yang secara eksplisit dijamin undang-undang ketika menjalankan tugas dengan itikad baik. Irfan Kamil juga menyinggung kasus kriminalisasi jurnalis Muhammad Asrul dan Diananta Pramudianto sebagai bukti adanya ketidakpastian hukum akibat ketidakjelasan penafsiran Pasal 8 UU Pers.

Sidang yang dipimpin Majelis Hakim Konstitusi itu merupakan bagian dari Perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025. Majelis akan melanjutkan pemeriksaan perkara dengan agenda mendengarkan keterangan pihak pemerintah dan Dewan Pers pada sidang berikutnya. (*)

Related posts

Tuding MbS Korupsi Lewat Medsos, Pengadilan Saudi Eksekusi Mati Seorang Pria

admin

MK Lanjutkan Sidang Pengujian UU Cipta Kerja

admin

DPRD Samarinda Evaluasi Kinerja dan Umumkan Rotasi AKD Fraksi PKS

admin