Tebarberita.id, Jakarta – Dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, mengajukan uji materi Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai pasal-pasal yang menjadikan pesangon dan uang pensiun sebagai objek pajak bertentangan dengan konstitusi dan prinsip keadilan sosial.
Permohonan tersebut terdaftar sebagai Perkara Nomor 170/PUU-XXIII/2025, dengan objek uji Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Para pemohon mempersoalkan penerapan tarif progresif terhadap pesangon, pensiun, THT, dan JHT, yang menurut mereka tidak seharusnya diperlakukan sebagai tambahan penghasilan baru.
“Pajak pesangon dan pajak pensiun itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja. Tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” ujar Ali Mukmin, kuasa hukum pemohon, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Jakarta, dikutip mkri.id, Senin (6/10/2025).
Dalam permohonannya, para pekerja menilai pesangon dan pensiun merupakan hak normatif hasil jerih payah puluhan tahun, bukan keuntungan ekonomi baru seperti laba usaha atau investasi. Mereka menyebut pemajakan atas pesangon dan pensiun sebagai bentuk ketidakadilan negara terhadap kelompok rentan, karena justru dibebani pajak ketika sudah tidak lagi produktif.
Menurut pemohon, kebijakan itu melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum yang adil, serta Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) yang menjamin kesejahteraan warga negara. Mereka menegaskan, negara tidak seharusnya mengambil bagian dari hak hidup pekerja di masa tua, terutama ketika kontribusi pajak telah dilakukan selama masa kerja aktif.
Dalam petitum-nya, para pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT. Mereka juga meminta pemerintah tidak lagi mengenakan pajak atas hak-hak tersebut serta mendesak pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan prinsip keadilan konstitusional.
Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah. Daniel menyoroti masih perlunya perbaikan dalam penyusunan argumentasi hukum pemohon agar lebih sistematis dan sesuai dengan Peraturan MK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 7/2025).
Majelis memberi waktu 14 hari bagi pemohon untuk memperbaiki permohonannya, dengan batas akhir penyerahan pada Senin, 20 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.
Langkah hukum ini dipandang sebagai ujian penting terhadap keadilan sistem perpajakan nasional, terutama dalam perlakuan negara terhadap pekerja dan pensiunan di masa transisi ekonomi. (*)