Tebarberita.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Partai Buruh terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Permohonan yang terdaftar dengan Nomor 131/PUU-XXIII/2025 itu dinyatakan tidak dapat diterima karena belum memenuhi syarat formil pengujian konstitusional.
Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum dalam sidang putusan di Jakarta, Kamis (16/10/2025), menjelaskan bahwa substansi permohonan Partai Buruh terkait ambang batas parlemen (parliamentary threshold) telah diuji sebelumnya melalui Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023.
“Salah satu amar putusan tersebut menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk segera melakukan perubahan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2029 dengan melibatkan seluruh kalangan. Namun hingga permohonan a quo diputus, pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas ketentuan mengenai ambang batas parlemen,” ujarnya seperti dikutip mkri.id.
Menurut Saldi, dalil kerugian konstitusional yang diajukan Pemohon tidak berdasar karena belum ada perubahan norma sebagaimana diamanatkan putusan sebelumnya.
“Dalam permohonan ini anggapan kerugian atau potensi kerugian konstitusional yang disampaikan Pemohon tidak didasarkan pada norma undang-undang yang telah berlaku sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 116/PUU-XXI/2023. Oleh karena itu, permohonan a quo belum saatnya untuk diajukan ke MK,” tegasnya.
MK menilai belum terdapat hubungan sebab akibat (kausalitas) antara norma yang diuji dan potensi kerugian yang diklaim. Karena itu, penilaian terhadap pasal-pasal lain seperti Pasal 415 ayat (1) dan (2) UU Pemilu serta Pasal 82 ayat (3) UU MD3 juga belum dapat dilakukan. Semua pasal tersebut masih bergantung pada pemaknaan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang belum ditindaklanjuti pembentuk undang-undang.
Permohonan Partai Buruh sendiri mempersoalkan ketentuan ambang batas perolehan suara minimal partai politik sebesar 4 persen untuk ikut menentukan kursi DPR. Partai Buruh berargumen bahwa ambang batas nasional menyebabkan hilangnya representasi politik kelompok kecil dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam sistem proporsional. Mereka mengusulkan agar ambang batas dihitung di tingkat daerah pemilihan (dapil), bukan nasional.
Kuasa hukum Partai Buruh, Said Salahudin, mengatakan isu konstitusional yang diajukan Pemohon berkaitan dengan hak politik rakyat dan kedaulatan dalam sistem demokrasi.
“Pemohon menyadari bahwa aturan ambang batas parlemen masih dinilai konstitusional dan dinyatakan MK sebagai kewenangan dari pembentuk undang-undang atau open legal policy,” ujarnya.
Dalam petitum, Partai Buruh meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. Namun apabila MK tetap mempertahankan ambang batas parlemen, Pemohon mengusulkan agar penerapannya berbasis dapil, bukan suara sah nasional. (*)