Tebarberita.id, Jakarta – Potensi kriminalisasi terhadap jurnalis dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi sorotan utama dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus yang menimpa wartawan Nusa Tenggara Timur, Markus Erasmus Tengajo, dianggap menggambarkan ancaman nyata terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Markus, yang juga Kepala Biro Metro Rakyat.com wilayah NTT, menjadi saksi Pemohon dalam perkara Nomor 135/PUU-XXIII/2025. Ia menceritakan bagaimana kegiatan peliputan publik berujung pada penahanan oleh Polres Manggarai Barat.
“Saya mengalami penahanan selama 10 hari hingga akhirnya diselesaikan dengan mekanisme perdamaian atau yang diklaim oleh Kepolisian sebagai Restorative Justice, di mana pelapor mencabut laporan kepolisiannya sedangkan saya diminta untuk tidak pernah menayangkan hasil liputan sebagaimana yang dipermasalahkan. Hal ini saya sepakati mengingat tekanan yang sudah saya alami serta kebutuhan untuk segera kembali bekerja,” ujarnya dalam sidang secara daring seperti dikutip mkri.id, Rabu (22/10/2025).
Kasus bermula dari liputan investigatif tentang dugaan aktivitas tambang ilegal di Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, pada akhir 2023 hingga awal 2024. Sebelum berita diterbitkan, pihak perusahaan menolak hasil liputan tersebut. Tak lama kemudian, Markus menerima panggilan dari kepolisian dan akhirnya dijadikan tersangka dengan tuduhan melanggar Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) UU PDP.
“Selama dalam tahanan, saya ditempatkan bersama tahanan lain di ruang yang terbatas. Saya mengalami tekanan psikis karena merasa tidak seharusnya kerja jurnalistik saya diperlakukan sebagai tindak pidana,” tutur Markus.
Penahanan Markus memicu protes dari komunitas jurnalis, organisasi profesi, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusa Komodo. Mereka menilai aparat tidak mematuhi Nota Kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri yang mengatur bahwa sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers. Namun, proses hukum tetap berjalan hingga Markus ditahan.
“Saya tidak ingin memberikan pandangan hukum terhadap pasal yang sedang diuji, karena itu di luar kapasitas saya sebagai saksi. Namun, saya berharap pengalaman saya dapat menjadi ilustrasi konkret bagaimana penerapan pasal tersebut di lapangan telah menyebabkan seseorang yang menjalankan tugas jurnalistiknya menghadapi penahanan dan proses hukum yang berat,” ujarnya.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam SIKAP — terdiri atas Pengajar Prof Masduki, Ilustrator Amry Al Mursalaat, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan SAFEnet — mengajukan uji materi terhadap pasal-pasal UU PDP tersebut. Menurut mereka, Pasal 65 ayat (2) juncto Pasal 67 ayat (2) membuka ruang tafsir luas yang dapat menjerat aktivitas jurnalistik, terutama dalam liputan investigatif yang melibatkan data publik.
Dalam sidang yang sama, MK juga mendengarkan keterangan ahli Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indra Rahmatullah, untuk perkara Nomor 137/PUU-XXIII/2025. Ia menilai belum adanya peraturan pemerintah turunan dari UU PDP menimbulkan ketidakpastian hukum, termasuk perlindungan bagi jurnalis yang bekerja menggunakan data publik.
“Ahli menyampaikan bahwa terdapat berbagai macam kebijakan negara-negara dalam mengatur syarat dan ketentuan transfer data pribadi ke luar negeri sehingga menjadi tantangan bagi Indonesia dalam menguatkan kedaulatan digital karena negara berkembang lebih rentan posisinya lemah dibanding dengan negara maju,” kata Indra.
Adapun perkara Nomor 137/PUU-XXIII/2025 yang diajukan advokat dan dosen hukum Rega Felix juga menyoroti Pasal 56 UU PDP yang dianggap tidak menempatkan rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan data pribadi. Ia menilai kesepakatan transfer data antara Indonesia dan Amerika Serikat dilakukan tanpa mekanisme persetujuan publik, sehingga melemahkan hak konstitusional warga negara.
Perkara ini menjadi ujian penting bagi Mahkamah Konstitusi dalam menegaskan batas antara perlindungan data pribadi dan kebebasan pers. Para Pemohon berharap MK dapat memastikan agar UU PDP tidak berubah menjadi alat pembungkaman bagi jurnalis yang menjalankan fungsi kontrol sosial. (*)
