Tebarberita.id – Tenggarong – Revolusi industri dunia sedang bergerak menuju ke 5.0. Artinya kemajuan teknologi dalam bidang apapun sudah tak terbendung, apalagi teknologi informasi. Namun, tidak seperti yang terjadi di Desa Teluk Muda. Daerah yang berada di Kecamatan Kenohan, Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut masih dalam masa “abad kegelapan”. Bagaimana akan mendapakan informasi melalui internet, jika sampai sekarang warga desa itu belum menikmati penerangan dari perusahaan listrik negara (PLN).
Aladin, kepala Desa Teluk Muda mengatakan, satu-satunya penerangan yang ada di desa ini adalah mesin generator set (genset) yang sebelumnya hasil dukungan dari program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM). Mesin itu sudah beroperasi sejak 2011 silam.
Namun, mesin penerangan dengan bahan bakar solar itu hanya menyala dari pukul 6 sore sampai pukul 11 malam. Hanya 5 jam beroperasi. Sementara sejak tengah malam, desa ini harus gelap gulita. Kecuali bagi warga yang punya kemampuan lebih, memiliki genset sendiri. Untuk mendapatkan layanan listrik selama 5 jam itu, warga harus membayar Rp 130 ribu per bulan.
“Ini pun sudah disubsidi dengan dana desa,” kata Aladin.
Total, Rp100 juta dana desa yang dibelanjakan setiap tahun, hanya untuk urusan genset berkapasitas 100 KVA ini. Komponen yang paling banyak menyedot keuangan adalah solar. Setiap malam, genset tersebut menghabiskan 70 liter solar.
Menurut Aladin, total ada 223 kepala keluarga di desa ini. Selain Desa Teluk Muda, desa di sekitarnya juga mengalami nasib yang sama.
“Ya mudah-mudahan PLN segera masuk, supaya kami juga bisa menikmati listrik seperti mereka yang di kota,” sambungnya.
Karena tidak ada listrik, praktis sarana komunikasi di desa ini juga setali tiga uang. Sinyal telekomunikasi berharap dari sisa-sisa sinyal yang sampai desa ini. Jika pun ada, hanya bisa untuk telepon suara, tanpa bisa mengakses data internet.
Memang tidak mudah untuk mencapai desa ini. Perjalanan dari Samarinda harus memakan waktu lebih dari 3 jam. Selain itu, masih harus menyeberangi Sungai Mahakam dengan kapal feri kayu, barulah bisa sampai di desa ini. Karena tidak ada akses jembatan menuju desa, mau tidak mau warga harus memiliki perahu, atau menumpang di kapal feri dengan tarif Rp5 ribu untuk satu kali menyeberang. (*)