Tebarberita.id, Jakarta – Sembilan orang karyawan swasta resmi menggugat pengujian materiil terhadap Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai ketentuan itu menimbulkan ketidakadilan karena memperlakukan pesangon dan uang pensiun layaknya penghasilan baru yang masih produktif.
Menurut para pemohon, perlakuan pajak terhadap pesangon dan pensiun telah mengabaikan prinsip konstitusional yang menjamin hak warga negara atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi.
“Pensiunan pekerja swasta yang semestinya diperlakukan dengan penuh empati dan perlindungan justru diperlakukan sama dengan pihak-pihak yang masih memiliki penghasilan produktif,” ujar Pemohon I, Jamson Frans Gultom, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang MK, Jakarta, Jumat (17/10/2025).
Gugatan ini teregister sebagai Perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025. Selain Jamson, delapan pemohon lainnya ialah Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, Cahya Kurniawan, serta Aldha Reza Rizkiansyah.
Dalam dalil permohonannya, mereka menilai pesangon dan pensiun tidak sepatutnya disamakan dengan keuntungan usaha atau laba modal, karena keduanya merupakan hak normatif dan tabungan akhir masa kerja. Pemerintah dan DPR, menurut para pemohon, keliru ketika menganggap pembayaran pesangon sebagai “tambahan kemampuan ekonomis” yang wajib dikenai pajak.
Para pemohon menilai kebijakan tersebut telah mengaburkan makna Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak atas penghidupan yang layak. Mereka menegaskan, uang pesangon, manfaat pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Tabungan Hari Tua (THT) adalah bagian dari hak pekerja untuk hidup bermartabat setelah berhenti bekerja. Dengan demikian, pemungutan pajak atas hak-hak itu dianggap mereduksi hak konstitusional pekerja.
Sebagai dasar permohonan, mereka juga menyinggung ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebutkan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis termasuk gaji, bonus, maupun uang pensiun tergolong objek pajak, serta Pasal 17 UU PPh yang mengatur tarif progresif berdasarkan lapisan penghasilan. Menurut pemohon, penerapan dua pasal itu tidak tepat bagi pekerja yang telah berhenti memperoleh penghasilan produktif.
Dalam petitumnya, mereka meminta MK menyatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pengenaan pajak atas pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT. Selain itu, mereka meminta Mahkamah memerintahkan pemerintah untuk menghentikan pemungutan pajak atas hak-hak tersebut bagi seluruh pegawai, baik negeri maupun swasta.
Sidang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani. Dalam sidang itu, Arsul mengingatkan para pemohon agar merujuk pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang sebagai pedoman penyusunan berkas.
“Bapak juga bisa melihat contoh permohonan,” kata Arsul memberi saran.
Sebelum menutup sidang, Saldi memberi waktu 14 hari bagi para pemohon untuk memperbaiki berkas. Perbaikan permohonan paling lambat diterima Mahkamah pada Kamis, 30 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB. (*)