Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan instrumen demokrasi sekaligus menjadi pesta demokrasi yang menjadi hajat besar setiap negara demokratis termasuk bagi bangsa Indonesia. Maka menjadi sangat penting bagi setiap elemen masyarakat untuk bersama mewujudkan pemilu yang bersih tanpa hoaks, isu sara dan ujaran kebencian (hate speech). Apabila kita lihat secara psikososio, kultural dan historis, pemilu sebagai instrumen politik atau demokrasi sangat sarat dengan muatan konflik. Psikologi massa sejak kampanye sampai pengumuman hasil pemilu, cenderung labil dan rentan agresifitas. Massa parpol, secara sosial cenderung mengelompok secara eksklusif, di satu pihak dapat berperan sebagai pressure group atau pihak lain menjadi marginal group dengan pola hubungan yang bersifat tegang, terurai, dan tidak kohensif.
Secara kultural, etika dan nilai-nilai kejujuran, keadilan, kedisiplinan sangat berpeluang untuk dilanggar. Di sisi lain, upaya menegakkan kultur agar yang menang siap rendah hati dan tidak arogan, dan yang kalah legowo dan berani menerima kekalahan secara satria dan sabar merupakan kultur yang belum mapan dalam masyarakat kita. Sejarah pemilu di Indonesia masih juga diwarnai trauma dendam politik seperti saling lempar berita hoaks, isu sara, ujaran kebencian. Secara historis pada pemilu 2019 saja, terjadi peningkatan yang signifikan. Data dapat kita lihat dari Tim Automatic Identification System (AIS) yang dibentuk oleh Kominfo. Pada tahun itu, menurut AIS terdapat 3.901 hoaks yang teridentifikasi. Hoaks atau berita bohong ini selain terkait isu politik, juga menyasar isu pemerintahan. Bahkan hoaks berisikan fitnah terhadap individu tertentu.
Mendekati hajatan pemilu, kabar bohong ditemukan kerap menyerang para pasangan calon presiden dan wakil presiden. Begitu pula penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu selalu menjadi sasaran hoaks yang tidak sulit ditemukan.
“Hoaks politik yang marak muncul didominasi kabar bohong yang menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu, maupun penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu,” demikian kutipan dari laporan Tim AIS Kominfo.
Permasalahan-permasalah di atas memang tak mudah untuk dihindari. Sentimen agama, isu sara dan ujaran kebencian merupakan topik yang mudah digoreng untuk disajikan kepada khalayak. Oleh karena itu, saya mendorong penting adanya bagi penyelenggara pemilu untuk saling berkolaborasi dengan instansi stakeholder-stakeholder yang ada. Memperkuat formula pencegahan hingga penindakan dengan regulasi khusus untuk menangkal segala berita hoaks dan ujaran kebencian.
Kemudian, perlu adanya tim khusus dari pihak terkait untuk memperkuat tim cyber yang yang terdiri dari para ahli, tokoh masyarakat, tokoh agama, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya untuk berpatroli menangkal pemilu tanpa hoaks, isu sara dan ujaran kebencian di jagad maya. Selanjutnya yang terakhir, perlu adanya edukasi kepada masyarakat secara massif oleh penyelenggara pemilu dengan melibatkan semua pihak, baik tokoh agama, tokoh intelektual maupun mahasiswa, dan juga ormas-ormas yang bertujuan untuk penyadaran dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat secara meluas.
Sejatinya pemilu merupakan sarana untuk menyeleksi calon pemimpin yang kredibel. Dengan begitu, calon pemimpin akan ditentukan oleh proses pemilu. Pemilu yang damai, tanpa hoaks, isu sara dan tanpa ujaran kebencian merupakan wujud dari budaya demokrasi yang harus dijunjung. Jangan sampai kontestasi politik justru manjadi ajang perpecahan dan saling membenci satu sama lain.
Penulis: M Rouf A Zamzami (Ketua PPK Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur)