Tebarberita.id, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Rabu (15/10/2025), dengan isu utama menyangkut status zakat sebagai pendapatan asli daerah (PAD) Aceh. Perkara Nomor 140/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Arslan Abd Wahab, mantan Kepala Badan Keuangan Kabupaten Aceh Tengah, yang menilai pasal dalam UU tersebut mengabaikan kekhususan Aceh dalam pengelolaan zakat.
Pemohon berpendapat, zakat di Aceh memiliki kedudukan khusus karena telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal, yang menegaskan zakat sebagai bagian dari PAD. Aturan nasional dalam UU 23/2011 dianggap menimbulkan tumpang tindih dan ketidakpastian hukum bagi pejabat daerah dalam mengelola dana zakat.
Ahli pemohon, Zainal Abidin, menegaskan bahwa zakat di Aceh merupakan bagian dari sistem keuangan daerah yang diatur berdasarkan kekhususan provinsi tersebut.
“Memahami keistimewaan Aceh ini, maka pemerintah memberikan keistimewaan di antaranya kehidupan agama, adat, dan pendidikan serta peran ulama dalam penetapan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999,” ujarnya dikutip dari mkri.id.
Menurut Zainal, pengaturan zakat sebagai PAD memiliki dasar hukum kuat karena menjadi bagian dari penerapan syariat Islam di Aceh. Ia menambahkan, Undang-Undang Pemerintahan Aceh menempati posisi tertinggi dalam hierarki hukum daerah.
“Kita di Aceh melihat bahwa UU Pemerintahan Aceh itu adalah undang-undang tertinggi di bawah konstitusi di Aceh,” jelasnya.
Sementara itu, ahli dari pihak Presiden, Nazaruddin A. Wahid, menjelaskan bahwa zakat memiliki dimensi publik dan sosial yang membutuhkan peran negara dalam pengelolaannya. Namun, ia juga mengakui bahwa kekhususan Aceh memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengelola zakat sebagai bagian dari PAD.
“Dalam UU 11/2006 disebutkan bahwa zakat merupakan pendapatan asli daerah, karenanya segala ketentuan zakat menjadi bagian utama dari tugas pemerintah,” paparnya.
Ia menegaskan, pengelolaan dan pencairan zakat di Aceh hanya boleh dilakukan melalui mekanisme resmi yang diatur dalam qanun.
“Siapa pun tidak boleh memindahkan/mengelola zakat, kecuali lembaga yang ditunjuk oleh Qanun 10/2018 yang dikuatkan dengan Pergub Nomor 8/2022,” tegasnya.
Dalam persidangan, saksi pemohon Nafisah Elviana turut menjelaskan bagaimana dana PAD, termasuk zakat, digunakan sementara untuk menutupi defisit anggaran di Aceh Tengah pada akhir 2022. Ia menyebut kondisi keuangan daerah saat itu memaksa Badan Keuangan Daerah memanfaatkan dana yang ada demi menjaga kelangsungan belanja pemerintah.
“Dana yang ada hanyalah dana SiLPA dan PAD yang ada pada RKUD Kabupaten Aceh Tengah, kemudian BUD mengambil kebijakan dan memerintahkan kuasa BUD untuk memilih dan segera membayar SPM terhadap dana yang bersifat khusus tersebut,” katanya.
Kuasa hukum pemohon, Zulkifli, menilai ketentuan dalam Pasal 44 UU Pengelolaan Zakat menimbulkan ketidakpastian penafsiran yang berpotensi menyeret pejabat keuangan Aceh menjadi tersangka atau terdakwa. Ia menegaskan bahwa zakat di Aceh seharusnya tetap diakui sebagai PAD sesuai amanat UU Pemerintahan Aceh.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 44 UU 23/2011 inkonstitusional bersyarat, sepanjang tidak dimaknai bahwa pengelolaan zakat di Aceh tunduk pada aturan kekhususan daerah. Dengan demikian, zakat tetap menjadi pendapatan asli daerah yang dikelola oleh Baitul Mal sesuai qanun dan tidak disamakan dengan mekanisme nasional. (*)