TEBARBERITA.ID – Amerika Serikat berencana mencabut visa pelajar Tiongkok secara “agresif”, menurut Menteri Luar Negeri Marco Rubio, memperkuat upaya pemerintahan Trump untuk memperketat pengawasan terhadap warga asing di universitas AS.
Rubio menyatakan, mahasiswa yang terdampak termasuk mereka yang memiliki hubungan dengan Partai Komunis Tiongkok atau yang menempuh studi di bidang strategis. AS juga akan meningkatkan pengawasan terhadap seluruh aplikasi visa dari Tiongkok dan Hong Kong.
Tiongkok merupakan negara pengirim mahasiswa terbanyak kedua ke AS pada 2024, setelah India.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Mao Ning, mengecam keputusan AS yang dianggap bermotif ideologi dan keamanan nasional, serta menyebut langkah itu akan merusak hubungan antarwarga kedua negara.
“Langkah yang diskriminatif dan politis ini membuka kedok kebohongan AS tentang kebebasan dan keterbukaan,” ujar Mao. “Keputusan itu hanya akan memperburuk citra dan reputasi nasional AS di mata dunia.”
Keputusan ini muncul hanya beberapa pekan setelah AS dan Tiongkok mencapai kesepakatan dagang sementara. Persoalan pencabutan visa bisa menjadi titik panas baru dalam hubungan dua ekonomi terbesar dunia, berpotensi menggagalkan kemajuan negosiasi dagang.
Ketegangan juga meningkat akibat ekspor cip canggih ke Tiongkok dan langkah Beijing membatasi akses AS ke mineral langka, meski kedua negara sebelumnya sepakat di Jenewa untuk menurunkan tarif selama 90 hari demi mencari kesepakatan yang lebih luas.
“Langkah ini membangun tembok pemisah antara dua negara,” kata Wu Xinbo, Direktur Pusat Studi Amerika di Universitas Fudan, Shanghai. “Saya ragu kebijakan ini akan membantu kelancaran perundingan dagang selanjutnya.”
Langkah ini mengikuti perintah Rubio sehari sebelumnya yang memerintahkan seluruh kedutaan AS menghentikan penjadwalan wawancara visa pelajar, sambil mempertimbangkan pemeriksaan media sosial pelamar. Ini bagian dari upaya Presiden Donald Trump membatasi masuknya pelajar asing demi alasan keamanan nasional.
Gedung Putih juga tengah berseteru dengan kampus-kampus AS, dimulai dari tudingan antisemitisme di universitas elite seperti Harvard dan Columbia, dan kini meluas menjadi perdebatan soal peran pendidikan tinggi serta ketergantungan terhadap pelajar asing.
“Kami tetap membuka pintu bagi mereka yang ingin berkontribusi, membawa ide dan kecerdasan mereka ke Amerika,” kata CEO Nvidia Jensen Huang kepada Bloomberg TV. “Saya yakin pemerintah juga mendukung hal itu, dan tidak ada yang berubah dari pernyataan mereka sebelumnya.”
Pengawasan terhadap mahasiswa dan peneliti Tiongkok dimulai sejak masa jabatan pertama Trump. Pada 2020, AS menyatakan lembaga Confucius Institute harus mendaftar sebagai “misi asing”. Tahun yang sama, AS mencabut lebih dari 1.000 visa pelajar dan peneliti Tiongkok atas alasan keamanan.
Pada 2018, Departemen Kehakiman meluncurkan “China Initiative” untuk menyelidiki peneliti Tiongkok dan Tionghoa-Amerika yang diduga mencuri rahasia dagang. Program ini ditutup empat tahun kemudian karena kritik diskriminatif terhadap warga keturunan Asia.
Pembatasan visa yang diumumkan Rabu merupakan bagian dari pengetatan lebih luas sejak Trump kembali menjabat. Beberapa jam sebelumnya, ia menyerukan agar Harvard membatasi mahasiswa asing maksimal 15%.
Departemen Luar Negeri juga memperluas pengawasan ke semua pemegang visa, termasuk visa bisnis dan wisata, khususnya terhadap mereka yang terafiliasi dengan Harvard, menurut sumber internal.
Rubio mengatakan kepada Senat pekan lalu bahwa jumlah visa pelajar yang sudah dicabut kemungkinan telah mencapai ribuan. “Visa bukan hak, melainkan sebuah privilese,” tegasnya.
Mahasiswa internasional menyumbang 5,9% dari total hampir 19 juta mahasiswa di AS. Pada tahun ajaran 2023-2024, lebih dari 1,1 juta mahasiswa asing datang ke AS, dengan India dan Tiongkok menyumbang sekitar setengahnya, menurut Institute of International Education.
Tahun lalu, AS mencatat surplus $32 miliar dari jasa yang dijual ke Tiongkok — termasuk pendidikan, perjalanan, dan hiburan — dua kali lipat dari 2022, dengan sekitar sepertiganya berasal dari biaya kuliah dan hidup mahasiswa Tiongkok di AS.
Jumlah pelajar Tiongkok di AS menurun 4% menjadi sekitar 277.000 pada 2024, seiring memanasnya hubungan kedua negara. FBI memperingatkan bahwa Tiongkok berusaha memanfaatkan keterbukaan kampus-kampus AS untuk keuntungan sendiri.
Departemen Luar Negeri juga memperluas pembatasan visa untuk warga asing secara umum sebagai bagian dari kebijakan imigrasi Trump. Sebelumnya pada hari yang sama, Rubio mengumumkan pembatasan visa terhadap pejabat dan individu asing yang dianggap membungkam warga AS atau menargetkan perusahaan teknologi Amerika.
Menarget individu yang punya kaitan dengan Partai Komunis Tiongkok adalah langkah besar, mengingat pengaruh partai itu dalam kehidupan, universitas, dan dunia usaha di Tiongkok. Meski hanya sekitar 100 juta orang secara resmi menjadi anggota, jumlah yang memiliki hubungan dengan partai jauh lebih besar.
Xi Jinping pernah berjanji akan mengirim 50.000 pemuda AS ke Tiongkok selama lima tahun untuk menstabilkan hubungan. Komitmen ini menunjukkan Beijing kemungkinan tidak akan langsung membalas dengan mengusir mahasiswa Amerika, apalagi jumlah mereka di Tiongkok sangat kecil — kurang dari 900 orang pada 2023.
Dulu, ketegangan diplomatik kerap disalurkan lewat penutupan konsulat. China pernah menutup konsulat AS di Chengdu setelah Washington menutup konsulat Tiongkok di Houston pada 2020.
Namun kali ini, China punya cara lain. Neil Thomas dari Asia Society Policy Institute menilai respons Beijing bisa lebih tidak langsung, seperti membatasi ekspor mineral strategis.
“Beijing makin sadar akan kekuatan kontrol ekspornya dalam menekan rantai pasok global dan pemimpin politik Barat,” kata Thomas. “Mereka akan marah dan mulai mempertanyakan efektivitas kesepakatan di Jenewa dalam membangun landasan perjanjian baru AS-Tiongkok.”
Jumat (23/5) lalu, Harvard University melayangkan gugatan yang menyatakan bahwa pemerintah AS telah melanggar hak Amandemen Pertama kampus untuk mengendalikan tata kelolanya sendiri dan “ideologi” mahasiswa dan stafnya.
“Dengan goresan pena, pemerintah telah berupaya menghapus seperempat dari mahasiswa Harvard, mahasiswa internasional yang memberikan kontribusi signifikan terhadap universitas dan misinya,” demikian bunyi gugatan tersebut, yang diajukan di Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Massachusetts.
“Tanpa mahasiswa internasionalnya, Harvard bukanlah Harvard.”
Sebagai hasil dari gugatan itu, Hakim Allison D. Burroughs mengeluarkan perintah penundaan sementara yang memblokir langkah pemerintah Trump melarang penerimaan mahasiswa asing di Harvard.
Harvard saat ini masih bisa menerima mahasiswa dan akademisi internasional, selama kasus hukum tersebut masih dalam proses pengadilan.
Menurut universitas tersebut, program visa F-1 dan J-1 Harvard telah dipulihkan, sehingga para mahasiswa dan pelajar dapat melanjutkan studi mereka “tanpa gangguan.”
Mahasiswa yang sudah berada di Boston dengan visa mereka tidak akan dicabut statusnya atau dihentikan, sehingga pihak sekolah mengatakan bahwa mereka tidak perlu meninggalkan negara tersebut atau segera pindah sekolah.
Dalam pengaduan hukum yang diajukan awal bulan ini, Harvard juga mengatakan pihaknya berkomitmen untuk memerangi antisemitisme dan telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan kampusnya aman dan ramah bagi mahasiswa Yahudi dan Israel. (*)
Sumber:bloomberg