Tebarberita.id, Jakarta — Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang mengatur penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, Kamis (10/7/2025). Uji materi ini diajukan oleh empat mahasiswa hukum—Yusron Ashalirrohman, Roby Nurdiansyah, Yudi Pratama Putra, dan Muhammad Khairi Muslimin—melalui perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025.
Mereka menggugat Pasal 139 ayat (1), (2), dan (3), serta Pasal 140 ayat (1) karena dinilai menimbulkan ketimpangan sistem dalam penanganan pelanggaran administrasi antara Pilkada dan Pemilu. Sidang panel dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
Mengutip mkri.id, para pemohon menilai bahwa mekanisme rekomendasi yang diatur dalam pasal-pasal a quo membuat Bawaslu kehilangan fungsi pengambilan keputusan, berbeda dengan mekanisme penanganan pelanggaran administrasi dalam Pemilu. Dalam sistem Pemilu, Bawaslu memutus pelanggaran dan keputusannya wajib ditindaklanjuti KPU. Sebaliknya, dalam Pilkada, Bawaslu hanya memberikan rekomendasi yang kemudian dapat ditelaah ulang oleh KPU, termasuk ketika dugaan pelanggaran ditujukan kepada KPU itu sendiri.
“Pelemahan kontrol ini secara langsung berakibat pada inkonsistensi penegakan hukum, merusak integritas Pilkada dan menciderai hak konstitusional warga negara atas jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) dan 22E ayat (1) UUD NRI 1945, karena masyarakat dihadapkan pada penegakan hukum Pilkada yang tidak dapat diprediksi dan berpotensi tidak adil,” jelas Khairi Muslimin dalam sidang yang dihadiri secara daring.
Dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menafsirkan kembali frasa dalam Pasal 139 dan 140 agar kedudukan rekomendasi Bawaslu dalam Pilkada setara dengan putusan Bawaslu dalam Pemilu, yang bersifat final dan wajib dilaksanakan tanpa peninjauan ulang oleh KPU.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menilai bahwa argumentasi Pemohon masih perlu diperkuat, khususnya terkait posisi mereka sebagai mahasiswa dan kerugian konstitusional yang ditimbulkan.
“Harus dikaitkan dengan status para Pemohon yang mahasiswa dan dalam uraian pokok permohonan perlu argumentasi yang lebih tajam terkait rekomendasi yang dimaksud. Coba diargumentasikan bukan hanya karena rezimnya yang sama, tetapi apa yang membedakannya,” jelas Arsul.
Hal senada juga disampaikan Hakim Ridwan Mansyur yang mengkritik bagian petitum yang tampak memuat permohonan inkonstitusional bersyarat, namun belum dijelaskan secara substansial alasan hukumnya.
“Seharusnya jika menekankan pada rekomendasi, hukum, maka harus dijelaskan mengapanya dan ini belum ada uraiannya,” tegas Ridwan.
Sebelum menutup sidang, Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan waktu selama 14 hari kepada para Pemohon untuk menyempurnakan permohonan mereka. Naskah perbaikan harus diserahkan ke Kepaniteraan MK paling lambat Rabu, 23 Juli 2025. Sidang lanjutan akan digelar untuk mendengarkan pokok-pokok perbaikan. (*)