Tebarberita.id, Jakarta – Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 3 Angela Idang Belawan-Suhuk membantah keras narasi “PSU Sayang Anak Jilid II” yang diangkat oleh Paslon Nomor Urut 2 Novita Bulan-Artya Fathra Marthin dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi, Jumat (20/6/2025). Persidangan yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra ini mendengar jawaban dari berbagai pihak terkait sengketa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Mahakam Ulu.
Seperti dikutip dari mkri.go.id, Kuasa hukum Paslon Belawan-Suhuk, Damang, menegaskan bahwa tidak ada larangan hukum bagi anak pejabat aktif untuk mencalonkan diri. “Narasi ‘PSU Sayang Anak’ sengaja dibangun Pemohon untuk menciptakan persepsi negatif, padahal secara hukum pengajuan Angela sebagai calon pengganti saudaranya yang didiskualifikasi melalui mekanisme partai politik pengusung adalah sah,” ujar Damang di Ruang Sidang Panel 2 MK.
Pihak Belawan-Suhuk juga membantah keras adanya pertemuan tim sukses ASN di Ladang Tower, Long Bagun. “Klaim Pemohon tentang pertemuan ilegal dengan melibatkan Kepala Diskominfo dan perangkat daerah adalah tidak berdasar. Kami menantikan bukti konkret,” tegas Damang.
Bawaslu Mahakam Ulu dalam keterangannya mengakui menerima laporan politik uang oleh Paslon 3 di tiga kampung, namun menyatakan tidak menemukan bukti cukup untuk membuktikan pelanggaran pidana. “Setelah pemeriksaan, unsur-unsur politik uang tidak terpenuhi berdasarkan barang bukti dan klarifikasi yang ada,” jelas perwakilan Bawaslu.
Novita Bulan sebagai Pemohon tetap bersikukuh dengan dalilnya bahwa selisih 2.620 suara di dua kecamatan menjadi penentu kemenangan Paslon 3 yang hanya unggul 2.302 suara secara keseluruhan. Pemohon meminta MK membatalkan hasil PSU atau setidaknya menggelar pemungutan suara ulang di Kecamatan Long Bagun dan Long Hubung.
Kasus ini merupakan lanjutan dari Putusan MK Nomor 224/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang sebelumnya telah mendiskualifikasi Owena Mayang Shari (adik Angela) karena terbukti melakukan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) melalui kontrak politik dengan 28 ketua RT. MK saat itu menegaskan bahwa kontrak politik tersebut bukan sekadar janji kampanye biasa, melainkan bentuk perekrutan tim pemenangan yang melanggar netralitas.
Sidang akan dilanjutkan untuk mendengar keterangan saksi dan ahli sebelum majelis hakim yang terdiri dari Saldi Isra, Ridwan Mansyur, dan Arsul Sani memutuskan perkara ini. Putusan ini dinilai krusial karena akan menentukan apakah praktik dinasti politik di tingkat lokal dapat dibatasi melalui penafsiran konstitusi. (*)