TebarBerita.ID
      Artikel ini telah dilihat : 659 kali.
NASIONAL

Indonesia Miliki Lahan Gambut Terluas Ke-3 di Dunia, Setengahnya Rusak dan Terbakar

Tanah Gambut

TEBARBERITA.ID – Indonesia memiliki lahan gambut seluas 13,4 juta hektare—terluas ketiga di dunia dan terbesar di Asia—yang memegang peranan penting secara ekologis, ekonomi, hingga sosial. Namun, kondisi sebagian lahan gambut yang mulai rusak dan terbakar menjadikan penelitian dan kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadi semakin mendesak.

Kepala Pusat Riset Ekologi BRIN Asep Hidayat menegaskan bahwa kontribusi ilmiah Indonesia dalam riset gambut semakin kuat berkat pendekatan lintas disiplin seperti ilmu lingkungan, bumi, dan biologi.

“Riset lintas bidang seperti ilmu lingkungan, bumi, dan biologi mendominasi kontribusi Indonesia dalam lanskap ilmu global,” ujarnya seperti dikutip brin.go.id.

Kegiatan yang merupakan hasil kerja sama BRIN dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) ini juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara ilmuwan lokal, pakar internasional, dan pembuat kebijakan dalam menjawab tantangan degradasi ekosistem gambut.

“Untuk memahami sepenuhnya dinamika ekosistem yang unik dan dampak global dari lahan gambut ini, kita harus mendorong penelitian kolaboratif antara ilmuwan lokal, pakar internasional, dan pembuat kebijakan,” lanjut Asep.

Ia juga menekankan perlunya investasi jangka panjang dalam infrastruktur riset demi mengatasi kesenjangan pengetahuan dan menghasilkan temuan ilmiah baru yang dapat diterapkan langsung pada pengelolaan gambut.

Dari sisi konservasi, Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim YKAN, Nisa Novita, memaparkan bahwa sekitar 75 persen potensi mitigasi dari solusi iklim alami berasal dari lahan gambut. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa separuh lahan gambut Indonesia telah rusak atau terbakar.

“Setengah dari tanah gambut Indonesia sudah rusak atau terbakar. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan salah satu sekutu iklim alam paling kuat,” katanya mengingatkan.

Nisa juga menegaskan pentingnya kolaborasi jangka panjang yang telah terjalin lebih dari empat tahun antara YKAN dan BRIN, terutama dalam riset dan implementasi restorasi gambut di Kalimantan Barat.

“Acara hari ini adalah sharing session untuk para peneliti dari BRIN, YKAN dan bahkan para project implementer. Kita bisa mendapatkan manfaat dari apa yang telah dilakukan dan juga tentang sains yang terbaru saat ini dari berbagai partner kita. Kami juga berharap YKAN dan BRIN tetap selalu solid terutama dalam memajukan sains di lahan gambut tropis,” harapnya.

Sementara itu, peneliti Pusat Riset Ekologi BRIN Wahyu Catur Adinugroho dalam paparannya mengungkapkan bahwa lahan gambut tropis menyimpan cadangan karbon sangat besar, yang menjadi aset penting dalam mitigasi perubahan iklim global. Namun, akurasi estimasi karbon masih menghadapi tantangan besar.

“Estimasi cadangan karbon yang akurat di lahan gambut Indonesia sangat krusial sebagai bagian dari sistem Measurement, Reporting, and Verification (MRV) Gas Rumah Kaca (GRK). Sistem ini dibutuhkan untuk mendukung pencapaian target iklim nasional, termasuk FOLU Net Sink 2030,” tegas Wahyu.

Ia menjelaskan, variasi tutupan lahan, kedalaman gambut, dan keterbatasan data menyebabkan tingginya ketidakpastian. Salah satu hasil studi kolaborasi YKAN dan BRIN mencatat bahwa tanah gambut menyimpan sekitar 86 persen dari total cadangan karbon ekosistem, sementara hanya 10 persen disimpan dalam biomassa di atas tanah.

”Salah satu temuan penting dari kolaborasi YKAN dan BRIN menunjukkan bahwa tanah gambut menyumbang sekitar 86% dari total cadangan karbon ekosistem (Total Ecosystem Carbon Stock/TECS). Sementara biomassa di atas tanah hanya sekitar 10%,” paparnya.

Lebih jauh, situs dengan kedalaman gambut di atas tujuh meter tercatat memiliki TECS rata-rata mencapai 4.620 MgC/ha, menjadikannya salah satu ekosistem penyimpan karbon terbesar yang pernah diteliti.

“Melihat potensi tersebut, kami menekankan perlunya peningkatan teknologi pemantauan seperti penginderaan jauh, pengumpulan data lapang, dan pengembangan faktor emisi spesifik. Di samping itu juga pentingnya kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan mitra konservasi. Hal ini untuk memastikan bahwa hasil riset dapat diterapkan secara nyata dalam kebijakan dan praktik pengelolaan lahan yang lebih baik,” tutup Wahyu. (*)

Related posts

Selesai Desember 2024, ASN di IKN Akan Tempati 2.820 Unit Rusun

admin

Pemerintah Larang Media Sosial Merangkap Sebagai E-Commerce

admin

Arini Ridhaka Santri Annuqayah Latee 2 Juarai MQKN 2023

admin