TEBARBERITA.ID – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menilai rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025 sebesar 5,12% year-on-year (yoy) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai anomali. Angka itu dinilai janggal karena berbeda jauh dari proyeksi konsensus pakar, akademisi, dan pelaku ekonomi, serta tidak sejalan dengan sejumlah indikator makro maupun faktor musiman.
“Dan kita juga sangat menantikan klarifikasi yang lebih detail karena sekali lagi data kuartal II-2025 itu adalah pertumbuhan ekonomi yang anomali, karena banyak pertanyaan yang kita sendiri pun susah menjawabnya,” kata Wakil Kepala LPEM FEB UI Bidang Penelitian, Jahen F. Rezki, dikutip dari cnbcindonesia.com, Rabu (13/8/2025).
Salah satu kejanggalan terlihat pada konsumsi rumah tangga, komponen terbesar pendorong PDB. Meski kuartal II-2025 tidak memiliki momen Ramadan dan Lebaran seperti kuartal sebelumnya, pertumbuhan konsumsi tercatat 4,97% yoy, naik tipis dari 4,95% pada kuartal I-2025 dan 4,93% pada periode sama 2024. Ironisnya, penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) yang biasanya sejalan dengan konsumsi justru terkontraksi. Data Kementerian Keuangan menunjukkan setoran PPN dan PPnBM bruto hingga Juni 2025 turun 4,5% menjadi Rp443,93 triliun, sementara secara neto merosot 19,7% menjadi Rp267,27 triliun.
“Salah satu indikator yang menunjukkan bahwa konsumsi itu terjadi dari PPN, karena setiap beli kopi dan sebagainya itu pasti akan terefleksikan dari penerimaan PPN. Namun, kita tidak menemukan itu,” ujar Jahen.
Kejanggalan juga terlihat pada investasi. BPS mencatat pembentukan modal tetap bruto (PMTB) tumbuh 6,99% pada kuartal II-2025, meski data purchasing manager’s index (PMI) dan indeks keyakinan konsumen (IKK) justru melemah. PMI April-Juni 2025 konsisten di bawah angka 50, sedangkan IKK pada Juni hanya 117,8, naik tipis dari 117,5 pada Mei.
“Kalau di teori, saat ekspektasi ke depan akan melambat, perekonomian akan memburuk, orang biasanya akan mengurangi konsumsi durable goods, dia gak akan beli mobil dan sebagainya. Tapi orang mungkin akan banyak saving,” kata Jahen.
Menurut Jahen, maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) juga tidak sejalan dengan klaim pertumbuhan investasi. Apindo mencatat 150 ribu pekerja terkena PHK sepanjang Januari-Juni 2025. “Kalau misal pengusaha melihat di lapangan kayaknya susah nih buat jual barang, tapi indikator ekonomi bilang positif siapa yang perlu kita percaya ini pasti akan pengaruhi ekspektasi dan decision dari banyak pelaku usaha di Indonesia,” ujarnya.
Ia menambahkan, perbedaan ini bisa saja terjadi karena BPS menggunakan metodologi baru atau memiliki data yang tidak dibuka ke publik. Namun, perubahan tersebut perlu dijelaskan secara transparan agar kepercayaan publik tidak hilang.
“Jadi ini perlu di-address dengan baik secara luas agar mereka bisa percaya ini tidak ada manipulasi dan sebagainya. Sekali trust itu hilang enggak hanya domestik yang kehilangan, tapi juga investors karena mereka pasti punya data sendiri,” papar Jahen.
Jahen menegaskan, transparansi data sangat penting untuk memastikan kebijakan pemerintah sesuai kondisi riil dan tidak salah sasaran dalam penggunaan dana publik. “Ini jadi akan sangat krusial nanti dan saya rasa pemerintah harusnya aware kalau data tidak merefleksikan realita di lapangan, kebijakan yang diambil lagi-lagi akan sangat menyia-nyiakan pajak kita,” ungkapnya. (*)