TebarBerita.ID
      Artikel ini telah dilihat : 753 kali.
NASIONAL

Satwa Liar Kerap Masuk Permukiman, Peneliti: Pertanda Ekosistem Tidak Seimbang

Tebarberita.id, Cibinong – Fenomena satwa liar seperti macan tutul jawa dan harimau sumatra yang muncul di area permukiman hingga gedung perkantoran belakangan ini menjadi peringatan serius tentang kondisi ekosistem hutan Indonesia. Menurut peneliti BRIN, kemunculan predator puncak di luar habitat alaminya bukanlah kejadian kebetulan, melainkan tanda bahwa keseimbangan alam sedang terganggu.

“Kalau mereka sekarang muncul di kebun, jalan raya, bahkan hotel, itu bukan perilaku alami, tapi itu tanda mereka terpaksa keluar dari hutan untuk bertahan hidup,” ujar Peneliti Ahli Utama bidang konservasi keanekaragaman hayati Pusat Riset Ekologi BRIN, Hendra Gunawan, di Cibinong, Bogor, dikutip brin.go.id, Selasa (21/10).

Hendra menegaskan, satwa seperti harimau sumatra dan macan tutul jawa merupakan penghuni inti hutan (core habitat species) yang hidup tersembunyi dan jarang bersinggungan dengan manusia. Namun, kerusakan habitat akibat pembukaan lahan, pembangunan jalan, dan perluasan permukiman telah membuat ruang hidup mereka menyempit dan terfragmentasi.

“Fragmentasi lebih berbahaya daripada sekadar pengurangan luas hutan,” tegasnya.

Menurut Hendra, fragmentasi membuat hutan besar terpecah menjadi potongan kecil yang terisolasi. Akibatnya, konektivitas antarhabitat hilang, area inti menyusut, dan tepian hutan (edge) meluas. Kondisi ini meningkatkan risiko interaksi antara satwa liar dan manusia, terutama bagi predator besar yang membutuhkan wilayah jelajah luas.

“Yang kalah biasanya jantan muda atau tua, terpaksa keluar mencari wilayah baru, dan sering melewati kebun atau permukiman,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan, satwa yang terjebak di wilayah non-hutan dapat mengalami disorientasi spasial.

“Bagi macan tutul, hutan dengan pepohonan adalah referensi visualnya. Begitu ia masuk ke bangunan beton tanpa vegetasi, ia kehilangan arah dan bisa panik. Inilah yang terjadi ketika macan masuk hotel atau kantor,” kata Hendra.

Data BRIN menunjukkan, setidaknya terjadi 137 kasus konflik manusia-harimau di 14 kabupaten/kota Sumatra Barat antara 2005 hingga 2023. Sebagian besar konflik tercatat di kawasan dengan tingkat fragmentasi hutan tinggi, seperti di Lanskap Cagar Alam Maninjau.

Melihat tren tersebut, Hendra mengingatkan bahwa konflik manusia dan satwa liar akan terus berulang bila tata ruang tidak dibenahi.

“RTRW harus memuat koridor satwa, jalur jelajah, dan area konservasi yang saling terhubung. Tanpa itu, satwa akan terus keluar hutan karena tak punya lagi ruang hidup,” pesannya.

Sebagai solusi, ia mendorong penerapan pendekatan human–wildlife coexistence atau hidup berdampingan antara manusia dan satwa liar secara berkelanjutan. Pendekatan ini terdiri dari empat tahap, yakni avoidance (penghindaran) melalui perencanaan ruang, mitigation (mitigasi) dengan mengusir tanpa melukai dan memberi kompensasi, tolerance (toleransi) lewat peningkatan empati masyarakat, serta coexistence (koeksistensi) dengan menciptakan manfaat bersama seperti ekowisata atau pertanian ramah satwa.

“Kalau masyarakat bisa melihat harimau bukan sebagai ancaman, tapi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, kita bisa hidup berdampingan dengan damai,” ujarnya.

Hendra menegaskan, kehadiran harimau di kantor BRIN di Agam maupun macan tutul di hotel Bandung bukanlah peristiwa unik, melainkan alarm ekologis bahwa hutan Indonesia sedang tidak sehat.

“Harimau bukan musuh kita, mereka adalah cermin dari kesehatan hutan. Jika harimau hilang, itu artinya ekosistem kita runtuh. Menjaga harimau berarti menjaga masa depan kita sendiri,” pungkasnya. (*)

Related posts

Sah! UU ASN Larang Instansi Pemerintah Rekrut Honorer

admin

Pemerintah Akan Tanggung 50 Persen Iuran BPJS Ketenagakerjaan untuk Ojol

admin

Kemenkes Beri Teguran Tertulis ke 3 RS Pemerintah

admin