TEBARBERITA.ID – Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti ketimpangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai persoalan mendasar yang kerap luput dibahas dalam kerja sama negara-negara Global Selatan.
Periset BRIN Rendy Pahrun Wadipalapa menyebut tren sentralisasi kekuasaan yang kembali menguat di Indonesia dan sejumlah negara berkembang berpotensi memperburuk kemunduran demokrasi lokal.
“Sudah 25 tahun sejak desentralisasi dimulai, tapi kini pemerintah pusat semakin dominan, sementara daerah kehilangan daya tawar. Fenomena ini adalah bentuk sentralisme regulatif dan klientelisme terpusat,” kata Rendy dalam Simposium Internasional Exploring the Global South di Kampus BRIN, Jakarta, Jumat (8/8) lalu seperti dilansir brin.go.id.
Ia mencontohkan program makan bergizi gratis Presiden Prabowo yang ambisius namun minim pelibatan pemerintah daerah. Rendy menyebut tren serupa juga terjadi di Thailand dan Filipina. Ia bersama timnya tengah mengembangkan kerangka kerja baru untuk menyeimbangkan relasi kekuasaan pusat-daerah, sambil merencanakan studi komparatif lintas negara.
Sejumlah peneliti asing turut memaparkan kajian dalam simposium tersebut. Tomohiro Hosoi dari Gunma University mengulas evolusi hubungan Jepang-Afrika melalui forum TICAD, yang awalnya berfokus pada pembangunan namun kini menjadi instrumen kepentingan nasional Jepang di tengah kompetisi geopolitik di Afrika.
Satoshi Matsushita dari IDE-JETRO membahas kebijakan luar negeri Iran yang memanfaatkan forum negara anti-Barat seperti blok Global South alliance untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS. Menurutnya, efektivitas forum tersebut masih terbatas karena tidak menghasilkan keputusan mengikat.
Sadia Rahman dari Universiti Malaya menilai konsep Global South sering disederhanakan dan barat-sentris. Ia mengkritik ketimpangan di lembaga internasional seperti PBB dan IMF, serta menyoroti BRICS sebagai bentuk resistensi epistemik terhadap dominasi pengetahuan Global North.
Gabrielle Keja Da Silva dari Stellenbosch University meneliti jejaring advokasi transnasional terkait isu Palestina, menunjukkan bahwa sikap negara Global South tidak selalu progresif dan bisa dipengaruhi dinamika domestik.
Omar Neim Kucuk dari METU mengkritisi narasi geoeconomics yang didominasi negara besar, menekankan peran middle powers Selatan seperti Arab Saudi dan UEA dalam strategi keamanan regional.
Sementara itu, Elif Inan dari METU mengangkat perlawanan warga Beirut terhadap tata ruang pascaperang sebagai klaim atas keadilan spasial, yang ia sebut sebagai bentuk penolakan terhadap tata kota berbasis kepentingan elite dan sektarianisme. (*)